Thursday, October 11, 2018

(Tidak) Mudah Penjarakan Anak



Di malam Jumat yang bukan kliwon, tiba-tiba Notifikasi Whatsapp masuk ke handphone penulis dari keponakan di Jakarta:
“Tadi Siang Dede disuruh analisis kasus tentang Arif yang dipidana karena membunuh preman, padahal umur dia baru 7 tahun”.
Cerita tentang Arif ini pernah viral di beranda Facebook, situs jejaring sosial dan forum-forum internet bahkan beberapa portal berita online pun pernah memberitakan. Secara singkat, kisah tersebut tentang pengalaman Arif yang saat itu berusia 7-8 tahun namun telah dijatuhi pidana penjara karena kasus pembunuhan. Arif menjalani pidana penjaranya  di LP Anak Tangerang. Konon di dalam penjara Arif selalu merepotkan petugas dan bahkan pernah tiga kali kabur dari LP Anak dengan cara yang unik.[1]
Cerita tentang Arif menjadi kajian Keponakan penulis yang saat ini berada di Semester 3 Fakultas Hukum Universitas Swasta di Jakarta. Dia mendapatkan tugas dari Dosen untuk menganalisa kasus Arif ini dari sudut teori pemidanaan yang dijatuhkan kepada Arif. Keberadaan Arif di dalam Lembaga Pemasyarakatan dan telah dijatuhi pidana penjara menimbulkan polemik di ruang hukum merupakan kisah nyata ataukah Hoax belaka?.
Kehidupan anak yang seharusnya penuh dengan keceriaan, terkadang tidak berjalan sesuai keinginan. Anak dapat berhadapan dengan hukum sebagai pelaku tindak pidana ataupun sebagai saksi korban. Keadaan ini tentunya tidak diharapkan, namun fakta menunjukkan adanya anak yang harus berhadapan dengan hukum dan merasakan ketidaknyamanan berhadapan dengan aparat penegak hukum.
Anak perlu mendapat pelindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua yang telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang berpengaruh terhadap nilai dan perilaku Anak. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak, antara lain, disebabkan oleh faktor di luar diri Anak tersebut. Data Anak yang berhadapan dengan hukum dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menunjukan bahwa tingkat kriminalitas serta pengaruh negatif penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif semakin meningkat.[2]
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak tentunya bukan suatu harapan dari setiap orang tua. Namun apabila itu telah dilakukan maka tentunya harus ada Sistem Peradilan Pidana yang dikhususkan untuk anak. Di Indonesia telah ada Undang-undang Nomor 11 Tahun 12 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak) sebagai pengganti Undang-undang Pengadilan Anak, yang diharapkan nantinya lebih melindungi anak ketika berhadapan dengan hukum.
Substansi yang paling mendasar dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.[3]
Keadilan restoratif ini termasuk istilah baru dalam sistem hukum Indonesia.  Keadilan restoratif bertujuan memberdayakan para korban, pelaku, keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki tindakan melanggar hukum dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat. Tujuan Keadilan restoratif mempunyai sedikit perbedaan dengan persepsi yang berkembang di masyarakat selama ini yaitu anak pelaku kejahatan yang telah terbukti bersalah melakukan perbuatannya pasti dipenjara. Namun apakah itu dapat diterapkan untuk setiap perkara anak yang berhadapan hukum ataukah tidak?.
Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini memiliki beberapa kekhususan yang tidak dimiliki oleh Undang-undang lainnya di Indonesia yang mengatur tentang pemidanaan yaitu mengatur tentang Diversi. Di Indonesia, ide diversi menjadi salah satu rekomendasi dalam Seminar Nasional Peradilan Anak yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung pada tanggal 5 Oktober 1996.
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Sebelumnya di Indonesia, Praktek penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian damai (walaupun melalui mekanisme hukum adat), namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku. Pelaksanaan Diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap perkembangan anak dalam keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana dan sebagai upaya memberikan keadilan kepada anak yang telah melakukan tindak pidana. Tata cara pelaksanaan Diversi ini mirip dengam Musyawarah untuk Mufakat yang telah lama dikenal masyarakat Indonesia.
Diversi dapat dilakukan dalam Perkara pidana anak yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.[4] Mahkamah Agung menyadari dalam praktik di Lapangan, Penuntut Umum dapat mengajukan Surat Dakwaan yang tidak berbentuk tunggal saja. Sehingga dalam hal ini Pengaturan diversi tersebut memiliki celah hukum yang belum diatur.  Oleh karena itulah Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (Baca: Perma Diversi) sehingga Hakim Anak wajib mengupayakan diversi apabila anak didakwa melakukan tindak pidana dengan ancaman penjara dibawah tujuh tahun dan didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara tujuh tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan subsidaritas, alternative, kumulatif ataupun gabungan.[5]
Penerapan Perma Diversi dalam praktiknya akan lebih melindungi anak. Sebagai contoh anak yang terlibat dalam tawuran atau pengeroyokan. Biasanya pengeroyokan akan didakwa dengan Pasal 170 ayat 2 KUHP yang mempunyai ancaman pidana penjara paling lama 7 tahun. Apabila merujuk pada UU SPPA tidak dapat dilakukan Diversi, namun apabila Penuntut Umum mendakwa anak tersebut dengan dakwaan berlapis (Subsidaritas) dengan Pasal 170 ayat 1 KUHP yang mempunyai ancaman pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan maka dapat dilakukan Diversi. Keuntungannya untuk Anak yaitu Anak tidak langsung dihadapkan di Persidangan menghadapi Hakim, Penuntut Umum dan Korban, melainkan Anak akan duduk bersama orangtua anak, korban, orangtua korban, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial atau bahkan dengan Tokoh Masyarakat seperti Pak RT, ulama dan lain-lain untuk mencari solusi terbaik bagi Anak dan Korban. Dalam diversi tidak ada Hakim karena Hakim secara otomatis menjadi fasilitator diversi. Hasil Diversi ini antara lain perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian, penyerahan kembali kepada orang tua/Wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bula  atau pelayanan masyarakat.
Hasil diversi yang pernah ada dalam perkara penganiayaan sebagai contoh yaitu anak menjalani Pelayanan Masyarakat sejumlah 2 (dua) jam per hari selama 1 (satu) bulan atau 30 (tiga puluh) hari kalender. Sedangkan untuk korban disepakati Anak beserta orang tua memberikan uang sejumlah Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) kepada Korban sebagai biaya pengobatan. Untuk perbaikan anak ke depannya, dapat disepakati anak berjanji tidak akan pernah ikut serta atau bergabung dengan Geng Motor atau sejenisnya dan menjauhi atau tidak bergaul lagi dengan teman-teman yang masih bergabung di Geng Motor ditambah dengan permintaan Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial dan Tokoh Masyarakat yang meminta anak wajib menjalankan ibadah agama Islam diantaranya puasa di bulan ramadhan dan sholat lima waktu, khusus shalat Magrib dilakukan di Masjid atau Mushola terdekat. Hasil Diversi tersebut secara komprehensif memuat ketentuan Undang-undang, juga memperhatikan keinginan korban, saran dari Pembimbing Kemasyarakatan dan juga Tokoh Masyarakat.
Perkara Anak yang tidak dapat dilakukan upaya Diversi maka prosesnya berlanjut ke persidangan. Namun ada syarat usia yaitu berumur 12 tahun  tapi belum berumur 18 tahun. Anak yang belum berumur 12 tahun dan diduga melakukan tindak pidana dapat diserahkan kembali kepada orangtuanya atau diikuitsertakan dalam program pendidikan atau pembinaan di instansi pemerintah atau Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial paling lama 6 bulan.
Fenomena nyata terjadi di LPKS di kawasan Jakarta Timur, beberapa anak yang diduga melakukan perbuatan asusila yaitu perbuatan cabul atau persetubuhan. Usia anak pelaku tersebut paling muda  5 tahun, anak itu masih menggunakan popok dan minum susu di botol, sedangkan anak-anak pelaku lainnya berusia variatif namun semuanya di bawah 12 tahun. Keberadaan Anak tersebut di LPKS untuk dilakukan pendidikan atau pembinaan. Walaupun anak tersebut terpisah dari orangtuanya, namun setidaknya Anak tidak mendapatkan pengalaman berhadapan dengan aparat yang bagi sebagian besar orang dipersepsikan menyeramkan.
Perlakuan berbeda diterapkan terhadap Anak berumur 12 tahun tapi belum berumur 18 tahun. Walaupun si Anak telah diajukan di persidangan, namun Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan yang bentuknya yaitu pengembalian kepada orang tua atau Wali, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa atau perawatan di LPKS. Sedangkan untuk anak yang telah berumur 14 tahun dapat dijatuhi pidana, termasuk pidana penjara didalamnya.
Putusan pidana untuk anak ternyata bukan hanya pidana penjara saja. Ada  pidana peringatan,  pidana dengan syarat, pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat,  pengawasan, pelatihan kerja atau  pembinaan dalam lembaga yang dapat diberikan untuk anak. Selain itu ada pidana tambahan berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana dan  pemenuhan kewajiban adat.
Di Kuningan, ARH (17 tahun) dituntut pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan pelatihan kerja selama 6 (enam) bulan oleh Penuntut Umum karena telah melakukan persetubuhan dengan AS (16 tahun) yang merupakan pacar anak ARH. Majelis Hakim Pengadilan Negeri menjatuhkan pidana dengan syarat selama masa percobaan selama 2 (dua) tahun berakhir, terbukti melakukan tindak pidana, disertai syarat umum  yaitu tidak boleh melakukan suatu tindak pidana selama masa percobaan, dan syarat khusus yaitu Melanjutkan kuliahnya di Universitas Kuningan selama 3 (tiga) tahun.
Putusan terhadap ARH dapat dipahami untuk menyelamatkan masa depan ARH dan juga masa depan korban karena senyatanya AS  menginginkan dinikahi oleh ARH dan itu telah disanggupi oleh ARH. Penjatuhan pidana penjara terhadap ARH tidak menguntungkan siapapun, bahkan selintas seperti pembalasan dendam saja, tentunya bertentangan dengan semangat pembaharuan di UU SPPA yang menekankan Keadilan Restoratif.
Kemudian ada lagi WMF (17 tahun) dan MFF (17 tahun) yang telah putus sekolah, keduanya dituntut pidana penjara masing-masing selama 3 bulan oleh Penuntut Umum karena telah melakukan Pencurian dengan Kekerasan dan Pemerasan. Majelis Hakim menjatuhkan putusan Pelatihan Kerja di Balai Rehabilitasi Sosial selama 6 (enam) Bulan. Putusan ini merupakan pilihan logis untuk memberikan keahlian  khusus kepada Anak di Balai Rehabilitasi Sosial agar selepas menjalani pelatihan kerja maka Anak dapat lebih berguna di masyarakat dengan bekal keahlian yang dimilikinya.
Berkaca kepada kasus tersebut maka pidana penjara seharusnya merupakan pilihan terakhir bagi Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap Anak Ketika ada pilihan pidana yang dapat dijatuhkan. Keberadaan anak-anak di dalam Penjara (Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak) telah memutus hubungan anak-anak dengan orang tua dan lingkungannya. Padahal diketahui bersama bahwa hubungan antara orang tua dengan anak dalam kehidupan manusia merupakan suatu hubungan yang hakiki, termasuk hubungan mental psikologis maupun mental spiritual. Mengingat hakekat hubungan tersebut dalam kehidupan manusia, maka dalam menangani masalah anak-anak senantiasa diusahakan agar anak tidak dipisahkan dari orang tuanya.
Anak tetap dapat dipidana Penjara apabila Anak tersebut memang dapat dipenjara sesuai ketentuan Undang-undang. Pidana penjara berarti Anak terpaksa dipisahkan dengan orangtua, keluarga dan lingkungannya. Namun tetaplah dipertimbangkan pemisahan itu semata-mata demi kepentingan perkembangan dan pertumbuhan anak secara sehat dan wajar.
Jadi cukup jelaslah cerita tentang Arif merupakan hoax belaka, karena tidak mudah memasukan anak ke Penjara walaupun telah melakukan tindak pidana. Apalagi dalam cerita Arif tersebut dikisahkan Arif berusia 7-8 tahun, masa-masa yang seharusnya dinikmati anak-anak dalam belaian orang tua, dan bukannya di dalam penjara.


[1] https://news.detik.com/berita/2143485/ada-napi-bocah-pintar-3-kali-kabur-dari-lp-ditjen-pas-itu-fiktif
[2] Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
[3]  Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
[4]  Lihat Pasal 7 ayat 2  Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
[5] Pasal 3 PERMA Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

No comments:

Post a Comment

Fenomena Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Masyarakat dan hukum adalah dua sisi yang berhubungan erat. Kehidupan bermasyarakat pun tidak selamanya berjalan dengan lancar dan untuk...