Masyarakat dan hukum adalah dua sisi yang berhubungan
erat. Kehidupan bermasyarakat pun tidak selamanya berjalan dengan lancar dan
untuk menertibkan kehidupan masyarakat itulah disusun norma-norma yang kemudian
berkembang menjadi suatu aturan-aturan yang mengikat dan mempunyai sanksi bagi
yang melanggarnya yang dikenal dengan istilah hukum. Sanksi ini bisa berbentuk
sanksi pidana yang dimaksudkan sebagai
upaya untuk menjerakan para pelaku kejahatan dan mencegah orang lain berbuat
sama.
Penjatuhan pidana atau pemidanaan (sentencing) adalah dalam rangka memenuhi pergaulan hidup yang baik.
Sanksi pidana dapat bertindak dan berlaku sebagai aturan utama (primary rules) akan tetapi bukan
semata-mata dimaksudkan sebagai pembalasan dendam terhadap perlakuan orang-orang
yang melanggar hukum melainkan sebagai ultimum
remedium.dan juga upaya pemberian pengayoman atau perlindungan kepada
masyarakat dan bimbingan kepada terpidana untuk sadar hukum atau insyaf supaya
dapat menjadi anggota masyarakat yang baik [1]
Sistem Peradilan Pidana adalah suatu sistem untuk
menangulangi kejahatan di dalam masyarakat. Penanggulangan kejahatan di
masyarakat berhubungan dengan penegakkan hukum. Sedangkan Penegakkan Hukum
selalu diidentikan dengan Penegak Hukum itu sendiri dalam hal ini adalah
Polisi, Jaksa dan Hakim yang bermuara pada Peradilan.
Dunia peradilan Indonesia saat ini menghangat dengan
terkuaknya berbagai kasus korupsi yang berpotensi merugikan keuangan Negara.
Mulai dari Pengusaha seperti Bob Hasan, Anggota DPRD, Pejabat Pemerintahan di
daerah bahkan sampai oknum aparat Penegak Hukum sendiri melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan hukum yang berlaku. Kasus KKN (Korupsi, Kolusi,
Nepotisme).
Kalau berbicara tentang korupsi, seringkali respon dari
kebanyakan masyarakat hanya datar – datar saja, bahkan ada yang menganggap
biasa, lain halnya kalau berbicara tentang seorang pencopet atau maling ayam
yang tertangkap, maka hujatan dan sumpah serapah terhadap pencopet dan maling
sial tersebut akan berhamburan. Mengapa hal tersebut dapat terjadi ? Apakah
peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-undang
No. 31 tahun 1999. jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum mampu mengatur masyarakat?ataukah moral masyarakat
Indonesia masih memiliki toleransi terhadap korupsi?
Korupsi dalam Pandangan
Hukum
Sejak keberhasilan gerakan reformasi
melanda bangsa Indonesia, sebutan "supremasi hukum" menjadi kata yang
paling sering diucapkan dan didengar. Istilah ini akan selalu menjadi obyek
kajian yang menarik dan tidak ada habis-habisnya . Hal tersebut disebabkan
karena masalah supremasi hukum adalah bukti nyata proses penegakan hukum suatu
bangsa.
Hukum sebagai aturan, norma, dan
kaidah akan selalu mempunyai posisi yang khas, ia langsung berada dan bekerja
ditengah-tengah masyarakat. Keberagaman cita rasa masyarakat yang terkemas
dalam budaya tradisional dan modern akan menyatu dalam suatu dimensi hukum.
Dalam kehidupan nyata, kita mengenal
istilah "hukum jalanan" dan "hukum gedongan". Biasanya penegak
hukum jalanan adalah polisi, sedangkan jaksa, advokad dan hakim kita kenal
dengan penegak hukum gedongan. (Satjipto Rahardjo, Prof. -Media Indonesia--).
Karena posisi yang unik itu keberadaan
hukum dapat memberikan dampak bagi lingkungan di sekitarnya. Atau mungkin
"sugesti moral", terutama bagi dinamisasi kehidupan bermasyarakat,
antara hukum dan masyarakat, penjahat dengan pejabat, orang baik-baik, atasan
dan bawahan, sesungguhnya tidak akan ada tirai pembatas (penghalan). Oleh
karena itu, kita biasa mengatakan hukum bersifat dogmatis dan universal.
Posisi yang khas tersebut, membawanya
langsung di tengah-tengah kejadian dan pengalaman empirik masyarakat. Salah
satu aspek dari demikian itu adalah keberadaan hukum di tengah-tengah dinamika
perubahan nilai, sikap dan akhirnya perilaku yang harus dihadapi oleh hukum.
Hukum harus mampu mencerna segala
perubahan secara tenang dan baik-baik. Kita sekarang berada di tengah-tengah
perubahan yang boleh dikatakan "berkualitas akut". Globalisasi, dunia
tanpa pembatas, skenario elit politik, suksesi, korupsi, kolusi, nepotisme,
supremasi hukum, demokratisasi, HAM, disintegrasi bangsa dan intrik-intrik
politik, yang kesemuanya harus dihadapi oleh hukum.
Masalah korupsi terkait dengan kompleksitas masalah, antara
lain masalah moral/sikap mental, masalah pola hidup kebutuhan serta kebudayaan
dan lingkungan social, maslah kebutuhan/tuntutan ekonomi dan kesejahteraan
social ekonomi, masalah struktur/sistem ekonomi, masalah sistem budaya politik,
masalah mekanisme pembangunan dan
lemahnya birokrasi di bidang keuangan dan pelayanan publik[2].
Hukum menurut Roscoe Pound melindungi
3 hal pokok yaitu :
1.
Public
Interest
2.
Social
Interest
3.
Private
Interest
Menurut Pound social interest menyangkut perlindungan
masyarakat terhadap kerusakan moral dan peraturan terhadap korupsi menjadi hal
penting.
Undang-undang No. 31 tahun 1999. jo Undang-undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah memberikan
landasan hukum bagi masyarakat dan penegak hukum untuk menyikapi perilaku
korupsi yang semakin mewabah. Sesuai fungsinya, hukum dapat berperan sebagai
alat rekayasa social (law as a social
engineering).
Hukum tidak hanya
merupakan unsur "tekstual" saja, yang dipandang dari kacamata
Undang-undang. Namun hukum juga merupakan unsur "kontekstual", yang
dapat dilihat dari prespektif yang lebih luas. Hukum diderivasi dari kaidah
moral dan kaidah moral merupakan kaidah terpenting dari kaidah yang ada.
Pemahaman ini seharusnya membawa ke arah lebih baik dari
masyarakat dalam menyikapi perilaku-perilaku korupsi. Keberadaan Undang-undang No. 31 tahun 1999. jo Undang-undang No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi bukanlah sesuatu yang ada tanpa melalui proses penyerapan nilai-nilai
yang berlaku di masyarakat. Sebab Hukum yang berlaku yang mengatur masyarakat
tidak mengalir secara langsung dari
dasar hukum normatif. Prinsip-prinsip abstrak itu harus dikonkretkan dalam
suatu tata hukum tertentu supaya berlaku.[3]
Korupsi
sebagai Cerminan Moral Masyarakat
Moral adalah keseluruhan kaidah dan nilai berkenaan dengan ikhwal baik atau perbuatan
baik manusia. Manusia individual tumbuh dalam suatu masyarakat tertentu, yang
didalamnya sudah ada sistem-sistem konseptual tentang moral dan hukum. Karena
manusia tumbuh di dalamnya maka ia menyerap sistem-sistem itu menjadi bagian
dari dirinya. Ia belajar bahasa moral dari suatu masyarakat tertentu dan
pemahaman moralnya dengan itu terbentuk.[4]
Untuk menjadi manusia dalam arti normative – yuridis,
yakni untuk menjadi subjek moral manusia perlu memenuhi beberapa syarat.
Syarat-syarat itu adalah bahwa manusia harus bebas untuk bertindak dan
bertanggungjawab atas apa yang terjadi. Bebas untuk bertindak memang ada
hubungan dengan kemampuan manusia untuk berfikir dan mempertimbangkan
pilihannya, akan tetapi terutama dengan kemungkinannya untuk bertindak sesuai
dengan kemauannya.
Maka adanya atau tidak adanya kemungkinan untuk bertindak
secara bebas menentukan apakah manusia menjadi pelaku moral ( causa moralis)
atau tidak. Seandainya manusia tidak bebas lagi, maka norma-norman tidak
berlaku lagi, dan manusia bukan pelaku moral lagi.
Adalah kejadian yang menyedihkan dalam kehidupan
bermasyarakat kita yang tidak menyadari, bahwa seorang maling dan pencopet
hanya merugikan orang perorang, sementara seorang oknum yang mengkorupsi uang
negara menyengsarakan beribu bahkan berjuta rakyat di negeri ini. Seringkali
kita melihat bagaimana dengan bangganya masyarakat kita mengundang seorang
pejabat yang jelas dan nyata sering memeras rakyat dan mengkorupsi uang negara
untuk meresmikan sebuah rumah ibadah. Bahkan banyak terjadi ketidak seimbangan
antara jumlah gaji yang diterima dengan kepemilikan harta yang tergolong mewah.
Perilaku korupsi berada diperbatasan antara hukum dan
moral. Sebagai suatu tindak pidana, perilaku korupsi bertentangan Undang-undang No. 31 tahun 1999. jo Undang-undang No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Oleh Kant, antara Hukum dan moral
mempunyai perbedaan yang mendasarinya yaitu legalitas suatu perbuatan menyatakan bahwa perbuatan itu sesuai atau tidak sesuai dengan kaidah hukum
(juridische wetten).
Di sisi lainnya, perilaku korupsi sudah
menjadi bagian dari perilaku masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, perilaku
korupsi ini sangat lah unik karena walaupun bertentangan dengan Hukum yang
berlaku namun masih dilakukan sebagian besar masyarakat. Berkaitan dengan
moral, hal tidak baik dari perilaku ini adalah apabila merugikan masyarakat
secara langsung.
Sedangkan apabila perilaku korupsi ini
menimbulkan keuntungan atau pun tidak mengganggu maka sebagian masyarakat
bersikap acuh terhadap perilaku koruptif ini. Menurut Kant, moralitas suatu
perbuatan menyatakan bahwa perbuatan
tersebut sesuai dengan kaidah moral (morale
wetten).
Di balik itu semua, para pelaku tindak pidana korupsi pun
sering kali dapat meloloskan diri dari jerat hukum yang ada. Hal ini berkaitan
dengan celah-celah yang ada dalam suatu Undang-undang. Dalam kondisi seperti
ini, moral dapat mengisi kekosongan atau celah dalam penanggulangan tindak
pidana korupsi.
Masalah ini tidak akan menjadi rumit apabila semua
individu / manusia dalam masyarakat itu mempunyai pandangan yang sama tentang
persepsi korupsi. Kesamaan definisi korupsi di dalam diri setiap individu akan
membuat setiap orang mampu berpikir dan bertindak untuk tidak melakukan
korupsi.
Hukum bersama-sama masyarakat berbuat sebagai kaidah dan
norma dalam pembentukan perilaku yang baik dan terkendali. Apabila hukum
terbuka terhadap dinamika perubahan masyarakat dan bersedia mengakomodasi
segala permasalahan, maka hukum dapat bekerja dengan baik dan bersifat
fleksibel. Sebaliknya hukum akan menjadi antagonis atau berseberangan dengan
masyarakat manakala hukum masih berada pada pijakan yang tertutup dan tidak
transparan
Dengan adanya hukum, nilai-nilai moral akan terpelihara
dan terjaga dan seorang manusia baik sebagai pribadi dan juga sebagai anggota
masyarakat akan dapat mewujudkan keadilan yang diemban oleh hukum itu sendiri.
Hukum dan nilai
moralitas akan saling menjaga dan melindungi keadilan dan kedamaian yang
diinginkan oleh masyarakat. Akan ada saling mengertian antara hukum dan
moralitas dimana saat hukum tidak mampu menjangkau perbuatan seseorang maka
moralitas masyarakat yang akan menjaga ketertiban yang telah ada dan moralitas
lah yang akan memberikan perasaan sanksi kepada seseorang yang mana terkadang dampak sanksi moralitas
ini lebih efektive daripada sanksi yang diberikan oleh hukum.
[1] Teguh Sulistia, “System Pembuktian Gratifikasi Dalam Perkara
Pidana Korupsi” KANUN NO.42 Edisi Agustus 2005, hal.328
[2] Barda NAwawi Arief,
Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni
Bandung, 2003.
[3] Theo Huibers,
Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yayasan KanisiusYogyakrta, 1982, hal.
294
[4] JJ.Bruggink,alih
bahasa oleh Arief Sidharta, Refleksi tentang
Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,, 1996.